putri419916.12.2016 IPS Sekolah Menengah Pertama terjawab Puncak kemarahan Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah Iklan Jawaban 5.0 /5 5 wirru Setelah belanda membuat jalan melewati patok makam leluhur pangeran diponegoro Sedang mencari solusi jawaban IPS beserta langkah-langkahnya? Pilih kelas untuk menemukan buku sekolah IklanHai Nabila, Kakak bantu jawab ya ! Puncak kemarahan Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro Opsi C. Perhatikan pembahasan berikut ini ya ! Perang Diponegoro atau Perang Jawa terjadi pada tahun 1825-1830. Perang Diponegoro merupakan salah satu perlawanan terbesar yang dilakukan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Pangeran Diponegoro dibantu beberapa tokoh antara lain Sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Mangkubumi dan Kiai Mojo. Diponegoro menerapkan taktik strategi perang gerilya, yang kemudian dihadapi Belanda dengan menerapkan taktik benteng stelsel. Adapun sebab umum dari Perang Diponegoro antara lain 1. Daerah kekuasaan Kesultanan Mataram semakin sempit. 2. Para bangsawan penghasilannya dikurangi. 3. Penderitaan akibat penjajahan. 4. Belanda ikut campur dalam urusan intern Kesultanan Mataram. 5. Pengaruh negatif kehidupan Barat masuk ke dalam kehidupan istana. 6. Pajak yang tinggi bagi rakyat. Sedangkan sebab khusus dari Perang Diponegoro adalah rencana pembuatan jalan yang melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Pangeran Diponegoro. Provokasi yang dilakukan penguasa Belanda seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar makam keramatlah yang membuat Pangeran Diponegoro sangat marah. Jadi, jawaban yang tepat opsi C ya ! Semoga bermanfaat ! Dengandemikian 3 sebab umum Perang Diponegoro adalah daerah kekuasaan Kerajaan Mataram semakin sempit, para bangsawan penghasilannya dikurangi, dan penderitaan akibat penjajahan. Itulah tadi jawaban dari perang diponegoro terjadi karena , semoga membantu.
Salah satu perlawanan rakyat terbesar di Pulau Jawa pada masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda adalah Perang Diponegoro. Kalau penasaran bagaimana sejarah kronologi Perang Diponegoro, kamu bisa menyimak selengkapnya di sini, ya!Belanda merupakan bangsa penjajah yang pernah menduduki Indonesia selama ratusan tahun. Dalam masa pendudukannya itu, tentu saja terjadi perlawanan rakyat di berbagai daerah. Salah satunya adalah Perang Diponegoro yang sejarah kronologi lengkapnya dapat kamu temukan di artikel yang juga disebut Perang Jawa tersebut berlangsung selama lima tahun, yaitu mulai dari tahun 1825 hingga 1830. Menurut catatan, ini adalah perang paling besar yang pernah dihadapi oleh Belanda, bagaimana kronologi sejarah Perang Diponegoro dan apakah peristiwa itu dapat mengusir Belanda dari Pulau Jawa? Kalau penasaran, kamu bisa menemukan jawabannya di bawah ini! Langsung saja dibaca, yuk!Sekilas tentang Pangeran Diponegoro Pangeran DiponegoroSumber Wikimedia Commons Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kronologi sejarah Perang Diponegoro, tidak ada salahnya untuk mengenal sosok tersebut terlebih dahulu. Pangeran Diponegoro merupakan seorang bangsawan dari Keraton Yogyakarta. Ia adalah anak dari Sultan Hamengkubuwana III. Sementara itu, ibunya adalah seorang selir yang bernama Raden Ajeng Mangkarawati. Ketika lahir, laki-laki berdarah biru tersebut memiliki nama Bendara Raden Mas Antawirya. Ia juga memiliki nama Islam, yaitu Abdul Hamid. Semenjak kecil, sang pengeran memang dikenal sebagai pribadi yang baik, ramah, dan suka belajar. Ia juga pandai bergaul dan bisa berbaur dengan rakyat. Setelah beranjak dewasa, ayahnya menginginkannya untuk naik tahta. Namun, ia menolak karena merasa tidak berhak menduduki jabatan tersebut mengingat ibunya bukanlah seorang permaisuri. Selain itu, sang pangeran sebenarnya lebih tertarik dengan masalah keagamaan daripada urusan pemerintahan. Namun kemudian pada tahun 1822, ia diangkat sebagai salah satu wali dari Sultan Hamengkubuwana V. Sang sultan pada waktu itu dinobatkan menjadi raja di usia yang masih belia. Maka dari itu, mau tak mau ia pun mulai menaruh perhatian pada urusan keraton. Semasa hidup, Pangeran Diponegoro menikah sebanyak sembilan kali. Dari pernikahan-pernikahannya, ia mendapatkan 5 orang putri dan 12 putra. Latar Belakang Terjadinya Perang Diponegoro Benih-benih permusuhan antara pihak Keraton Yogyakarta dengan Belanda sudah mulai ada sejak sekitar tahun 1808. Peristiwanya bermula dari Daendels yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk menyiapkan Pulau Jawa sebagai pusat pertahanan melawan Inggris. Namun, ia malah menyalahgunakan kekuasaan dan berlaku semena-mena terhadap Keraton Yogyakarta. Dengan lancangnya, ia menyuruh pihak keraton untuk mengubah tata upacara yang sudah turun temurun dilakukan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu juga memaksa keraton memberikan bantuan berupa sumber daya alam maupun tenaga prajurit. Hingga kemudian, terjadilah pemberontakan Raden Ronggo karena kelancangannya melakukan perdagangan kayu jati di daerah timur Jogja. Pemberontakan tersebut memang gagal. Akan tetapi, Belanda tetap memaksa Sultan Hamengkubuwana II untuk membayar ganti rugi. Pada tahun 1811, Inggris dapat mengalahkan pasukan Belanda dan kemudian menguasai Pulau Jawa. Kekuasaan Belanda pun terhenti sementara dan digantikan oleh Inggris. Baca juga Benda-Benda Bersejarah Peninggalan Kerajaan Majapahit Kembalinya Pengaruh Belanda Kemudian pada tahun 1822, Belanda berhasil merebut Hindia Belanda kembali dan turut ikut campur masalah keraton. Hal itu bermula dari meninggalnya Sultan Hamengkubuwana IV secara mendadak. Setelah itu, sang permaisuri malah meminta bantuan pada Belanda untuk menobatkan putranya menjadi Hamengkubuwana V. Pada waktu itu, sang calon raja masih berusia balita. Campur tangan tersebut tentu saja tidak disukai oleh para bangsawan kraton yang lain. Seperti yang sudah kamu baca di atas, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi salah satu wali yang mendampingi Sultan Hamengkubuwana V. Akan tetapi, posisinya tidak dianggap dan Belanda mendominasi semua pengambilan keputusan. Peristiwa sejarah besar lainnya yang menjadi salah satu pemantik meletusnya Perang Diponegoro adalah masalah sewa tanah disalahgunakan oleh warga bangsa asing. Melihat hal tersebut, van der Capellen kemudian membuat dekrit yang isinya orang-orang Eropa dan Tionghoa harus mengembalikan tanah yang disewa kepada pemiliknya. Dengan catatan, sang pemilik tanah harus memberikan kompensasi. Kebijakan tersebut membuat banyak pihak kelimpungan, termasuk Keraton Yogyakarta. Pasalnya, pihak keraton banyak menyewakan tanah sehingga harus memberikan kompensasi yang sangat besar. Bahkan, Pangeran Diponegoro harus mencari pinjaman uang untuk melunasinya. Permasalahan semakin memanas ketika ibu tiri sang pangeran rupanya lebih memihak pada Belanda. Hal itu kemudian membuatnya memutuskan hubungan dengan keraton. Sejarah Awal Mula Meletusnya Perang Diponegoro Sumber Wikimedia Commons Menurut catatan sejarah, puncak masalah yang membuat Pangeran Diponegoro mengobarkan perang terhadap Belanda adalah kelancangan Belanda memasang patok-patok jalan di tanah miliknya yang berada di Tegalrejo. Pada waktu itu, pemerintah Hinda Belanda memang sedang mencanangkan pembangunan jalan raya. Hal tersebut berarti akan dibangun jalan yang melewati perkebunannya. Laki-laki keturunan bangsawan itu tentu saja sangat marah. Pasalnya, ia bukan hanya kehilangan kebun yang telah dirawatnya sejak lama. Akan tetapi, di sana juga terdapat makam leluhurnya. Ia tentu saja tidak rela jika terjadi sesuatu terhadap area pemakaman tersebut. Sebenarnya, pemasangan patok tersebut sudah diketahui oleh patih keraton, yaitu Danureja. Hanya saja, ia tidak memberitahukan karena ditengarai memiliki dendam pribadi. Pada tanggal 17 Juni 1825, pekerja pembangun jalan datang ke kebun milik Pangeran Diponegoro dan memasang patok atas perintah Patih Danureja. Kedatangan para pekerja itu membuat para petani penggarap kebun menjadi risih sehinga kedua belah pihak terlibat percekcokan. Kejadian tersebut rupanya menarik perhatian warga sekitar yang kemudian datang untuk membantu para petani. Massa yang sangat banyak pun berkumpul di Tegalrejo. Baca juga Mengenal Sosok Kundungga, Sang Pendiri Kerajaan Kutai Mengeluarkan Ultimatum Pada awalnya, Pangeran Diponegoro sudah menyusun rencana untuk menyerang Belanda sekitar bulan Agustus 1825. Namun karena kelancangan Belanda itu, ia kemudian memutuskan untuk segera memulai pemberontakan. Sekembalinya dari pertapaan, sang pangeran kemudian menyuruh para petani untuk mengganti patok-patok jalan tersebut dengan menggunakan tombak. Lantas, melambangkan apakah tombak tersebut? Kalau dalam kamus para ksatria Jawa, itu berarti adalah sebuah tantangan untuk berperang. Setelah itu, ia memerintahkan agar anak-anak, wanita, dan kerabat untuk segera mengungsi. Ia dibekali sejumlah barang berharga selama bersembunyi ke Selarong. Menyadari keadaan yang semakin genting, Residen Belanda di Yogyakarta, yaitu Smissaert mengultimatum supaya menyerahkan diri dan datang ke keraton. Namun, ultimatum itu tentu saja tidak digubris oleh sang pangeran. Karena tidak kunjung muncul, Smissaert kemudian mengerahkan pasukan untuk menyerang Tegalrejo. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menyeret Pangeran Diponegoro supaya mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tindakan Pangeran Diponegoro Para prajurit yang berada di bawah komando Belanda itu sampai juga di Tegalrejo. Di sana, mereka sudah dihadang oleh pasukan pengikut sang pangeran. Pertemuan kedua belah pihak itu tentu saja membuat peperangan yang tidak dapat dihindari. Pada tanggal 21 Juli 1825, secara resmi menandai meletusnya Perang Diponegoro. Kedua kubu sama-sama kuat sehingga pertarungan berlangsung begitu sengit. Namun akhirnya, pasukan Belanda berhasil memukul mundur lawannya dan mengepung tempat tinggal milik Pangeran Diponegoro. Mereka kemudian tidak segan-segan untuk membakar tempat tersebut. Beruntungnya, Pangeran Diponegoro berserta sejumlah pengikutnya dapat menyelamatkan diri. Mereka lalu melewati jalan-jalan setapak supaya tidak mudah dikejar oleh pasukan lawan. Setelah melalui malam yang panjang, sampailah mereka ke Gua Selarong. Mereka kemudian disambut oleh keluarga dan para pendukungnya. Di sana, ia kembali menyusun rencana untuk mengobarkan peperangan melawan Belanda. Pertempuran tersebut dianggapnya sebagai Perang Sabil, yaitu peperangan terhadap bangsa kafir. Namun, orang kafir yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang Belanda. Baca juga Nama Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kerajaan Sriwijaya Tokoh-Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro Sentot PrawirodirdjoSumber Wikimedia Commons Dalam beberapa sumber sejarah, Pangeran Diponegoro mengobarkan perang melawan Belanda dengan dibantu oleh beberapa pengikut setianya. Siapa sajakah mereka? Informasi singkatnya dapat disimak berikut 1. Kiai Madja Selain Pangeran Diponegoro, salah satu tokoh sejarah yang turut berperan dalam peperangan tersebut adalah Kiai Madja. Ia adalah seorang ulama besar yang berasal dari Surakarta yang kemudian diangkat menjadi panglima perang. Sang kiai adalah anak dari Mursilah yang merupakan saudara ayahnya. Maka dari itu, bisa dibilang ia dan sang pangeran masih saudara sepupu. Dukungan yang didapatkan oleh Pangeran Diponegoro dari Kiai Madja ini tentu saja sangat berarti. Pasalnya, sang kiai memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Karena inilah, ketika berperang mendapatkan banyak bantuan dari para ulama. Kira-kira sejumlah 15 syekh, 112 kiai, dan 31 haji turut mendukung perjuangan sang pangeran untuk menumpas Belanda. 2. Sentot Prawirodirdjo Tokoh lain dalam sejarah Perang Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo. Menurut silsilahnya, ia adalah keponakan dari Sultan Hamengkubuwono IV. Laki-laki tersebut masuk ke dalam lingkaran Pangeran Diponegoro untuk menggantikan Gusti Basah yang gugur saat berperang. Jabatannya pada saat itu adalah senopati atau panglima perang. Pangeran Diponegoro memercayai Sentot Prawirodirdjo karena kemampuannya yang sangat baik dalam berperang. Selain itu, ia juga pandai mengatur strategi gerilya. Selama beberapa kali bertarung, ia membuktikan kemampuannya dengan memukul mundur para pasukan penjajah asing. Julukannya adalah Napolen Jawa. 3. Para Pendamping Tak hanya para panglima, Pangeran Diponegoro juga memiliki beberapa pendamping setia atau panakawan. Salah satunya adalah Banthengwareng Keberadaannya diketahui dari Babad Dipanagara. Ia yang juga dijuluki sebagai lare bajang dikenal sebagai pendamping sang pangeran yang paling setia. Ia selalu menemani kemanapun Pangeran Diponegoro pergi. Bahkan, dirinya juga ikut ke tempat pengasingan yang terletak di Makassar. Pendamping yang lainnya adalah Joyosuroto. Ia mendampingi pangeran dari awal perjuangan hingga akhir. Sebelum menjadi pendamping, ia dulunya hanyalah seorang warga biasa yang tinggal di wilayah Tegalrejo. Setelah itu, memutuskan untuk menjadi pengikut dan pendukung Pangeran Diponegoro. Baca juga Faktor yang Dinilai Menjadi Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kediri Strategi Perang yang Digunakan oleh Pangeran Diponegoro Sumber Wikimedia Commons Tadi kamu sudah menyimak beberapa tokoh sejarah yang juga terlibat dalam perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, kan? Nah, selanjutnya mari membahas lebih lanjut tentang jalannya perang tersebut. Dalam menghadapi Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya. Untuk yang belum tahu, perang gerilya adalah sebuah perlawanan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah tempat. Biasanya terbagi dalam kelompok-kelompok kecil supaya lebih efektif untuk melumpuhkan lawan. Dengan taktik gerilya tersebut, pasukannya dapat terhindar ketika markas utama di Selarong mendapatkan serangan. Belanda pun kembali dengan tangan kosong. Selanjutnya, pemimpin perang itu membagi pasukannya menjadi beberapa batalyon, seperti Arkiya dan Turkiya. Masing-masing batalyon kemudian dibekali dengan senjata api. Setelah markas di Selarong diserbu, Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Daksa. Di sini pula, ia kemudian dinobatkan menjadi seorang kepala negara. Pusat negaranya berada di Plered. Kota ini kemudian dijaga sedemikian rupa sehingga sistem pertahannya sulit untuk ditembus oleh pihak lawan. Namun pada tanggal 9 Juni 1826, Plered mendapatkan serangan besaran-besaran dari Belanda. Beruntungnya, penyerangan itu dapat digagalkan. Tidak menyerah, bangsa penjajah itu kembali menyerang markas yang berada di Daksa. Mereka tidak menemukan seorang pun di sana. Kejadiannya menjadi senjata makan tuan karena pada akhirnya pasukan Pangeran Diponegoro berhasil membunuh mereka. Serangan Balasan Perang Jawa ini merupakan salah satu perang yang terlama dan terbesar. Maka dari itu, kronologi sejarahnya memang panjang. Selain itu, perlawanan tersebut tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Namun, hampir mencakup banyak kota-kota besar seperti di Kedu, Surakarta, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Magelang, Kediri, hingga Surabaya. Sekitar bulan Oktober 1826, pasukan Pangeran Diponegoro melakukan serangan balasan. Mereka menyerang markas Belanda yang ada di Gawok. Dipertarungan kali ini, pihak lawan kalah telak. Meskipun berhasil, tapi sang pangeran mengalami luka parah dan harus ditandu untuk kembali ke tempat persembunyian. Setelah itu, sempat terjadi gencatan senjata yang disetujui oleh kedua belah pihak. Namun karena pada akhirnya tidak mendapatkan kesepakatan, perang pun berkecamuk lagi. Pada bulan November tahun 1826, Pangeran Diponegoro mengerahkan pasukannya untuk menyerang tentara Belanda di Pengasih. Ia sempat mendirikan markas di Sambirata, namun kemudian mendapatkan serangan balik. Beruntungnya, pasukannya dapat meloloskan diri. Baca juga Inilah Dia Silsilah Para Raja yang Berkuasa di Kerajaan Demak Serangan Bertubi-Tubi Dalam serangan yang terus menerus itu, jangan lupakan peranan rakyat yang begitu penting. Pasukan Diponegoro mendapatkan dukungan penuh dari rakyat. Maka dari itu, strategi gerilya bisa berjalan dengan baik. Dengan bantuan rakyat, mereka bisa berpindah-pindah lebih mudah untuk berpindah-pindah markas. Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan bantuan logistik dengan cepat. Di lain sisi, Belanda merasa frustasi dengan perlawanan di Pulau Jawa ini. Sudah banyak sekali tentara yang gugur dan dana yang dikeluarkan, tapi hasilnya masih belum terlihat. Pemerintah Belanda kemudian menarik jenderal-jenderal besarnya seperti De Kock, Hosman, dan Bisschof untuk menangani masalah di Jawa. Namun, itu juga tidak sepenuhnya berhasil. Karena selain menggunakan strategi gerilya, para senopati perang pasukan Diponegoro juga menggunakan kekuatan alam untuk melakukan penyerangan. Mereka biasanya akan gencar melawan di bulan-bulan penghujan. Hal itu dikarenakan pada keadaan tersebut, tentara Belanda akan mengalami kesulitan sehingga pergerakannya menjadi lambat. Terlebih lagi, di musim ini ada banyak penyakit-penyakit yang muncul. Secara tidak langsung, penyakit ini juga membantu untuk menghancurkan pasukan bangsa asing tersebut. Baca juga Peninggalan Bersejarah yang Membuktikan Keberadaan Kerajaan Pajajaran Strategi yang Disusun Belanda dalam Menghadapi Perang Diponegoro Jenderal de KockSumber Wikimedia Commons Pada beberapa catatan sejarah tertulis bahwa dalam Belanda merasa kewalahan dalam menghadapi Perang Diponegoro. Untuk menghambat pergerakan lawan, mereka sering kali mengajak berunding maupun gencatan senjata. Jika pihak Pangeran Diponegoro menyetujui, mereka memanfaatkan masa damai itu untuk menyebar provokator ke banyak desa. Melalui cara tersebut, pihaknya sedikit demi sedikit bisa memecah belah para pendukung sang pangeran. Selain itu, mereka juga mengirimkan mata-mata. Dengan begitu, pihak Belanda bisa mengamati gerak-gerik lawan yang sangat susah diprediksi dan kemudian menyusun rencana untuk mengalahkan mereka. Belanda memilih menggunakan cara tersebut karena dianggap lebih efektif. Usaha-usaha mereka sebelumnya yang hanya mengandalkan kekuatan dan senjata saja tidak pernah mempan. Meskipun demikian, keadaan tetap bisa diatasi. Hal itu dikarenakan masih banyak rakyat yang memihak Pangeran Diponegoro. Mempersempit Ruang Gerak Pasukan Diponegoro Setelah menyusun strategi, Belanda mengumpulkan lebih dari pasukannya untuk berjaga-jaga di daerah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1827 ini adalah puncak perang Jawa mengingat sebelumnya mereka tidak pernah mengerahkan pasukan sebanyak itu. Mereka melakukan serangan dengan menggunakan beberapa strategi. Jika sebelumnya hanya melaksanakan metode perang terbuka, kini mereka juga mengadapsi metode perang gerilya milik lawan dan juga provokasi di medan perang. Tak berhenti di situ saja, pihaknya juga membuat sayembara untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Isinya adalah siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapatkan tanah, penghormatan, dan uang sebesar Gulden. Strategi lain yang digunakan pasukan Belanda ketika dipimpin oleh Jenderal De Kock adalah memagari benteng milik pasukan lawan menggunakan pagar kawat berduri. Hal itu dilakukan supaya bentengnya tidak diambil kembali dan lawan menjadi semakin terdesak. Sejarah mencatat bahwa strategi yang dilakukan oleh Belanda untuk meredam Perang Diponegoro itu berhasil. Sedikit demi sedikit, mereka dapat melemahkan pertahanan milik lawan. Salah satu penyebab melemahnya kekuatan pasukan Diponegoro dalam peperangan adalah ditangkapnya Kiai Modjo pada tanggal 12 Oktober 1828. Beberapa hari berselang, Sentot Prawirodirdjo juga ikut tertangkap. Penangkapan kedua senopati tersebut tentu saja membuat pilar penumpu perjuangan menjadi timpang. Selain itu, Belanda juga turut menangkap istri pangeran Diponegoro dan putranya. Baca juga Candi-Candi Peninggalan yang Menjadi Bukti Peradaban Kerajaan Singasari Melakukan Gencatan Senjata dan Negosiasi Setelah menangkap para pemimpin pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda kemudian memberikan penawaran untuk gencatan senjata. Pada awalnya, ia teguh dengan pendiriannya untuk tidak menyerah dan terus melakukan perlawanan. Namun kemudian, sang pangeran memikirkan nasib keluarga beserta para pasukannya. Karena tidak ingin keselamatan mereka semakin terancam, ia ia luluh juga. Ia mau diajak untuk berunding dengan syarat pasukannya harus dibebaskan. Pemimpin Perang Jawa tersebut bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yaitu Jan Clareens pada tanggal 16 Febuari 1830. Perundingan memang berjalan dengan lancar. Namun sayangnya, pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan yang diharapkan. Selanjutnya, ia kemudian menemui Jenderal De Kock di Menoreh pada tanggal 21 Februari 1830. Pada waktu itu, bulan Ramadhan berlangsung dari tanggal 25 Februari hingga 27 Maret. Maka untuk menghormati bulan suci, ia pun meminta untuk tidak ada perundingan yang serius. Sang jenderal pun mengabulkan permintaan tersebut. Selain itu, ia juga memperbolehkannya untuk berkumpul bersama keluarganya yang dibuang. Laki-laki itu melunak karena berpikir bahwa kedatangan Pangeran Diponegoro ini merupakan simbol kekalahan secara de facto. Selanjutnya, ia juga mengirimkan mata-mata untuk mengamati gerak-gerik sang pangeran. Dari laporan sang mata-mata, diketahui bahwa Pangeran Diponegoro menginginkan pemerintah Hindia Belanda mengakuianya sebagai sultan pemimpin agama Islam di Jawa. Setelah mendengarkan hal tersebut, ia memerintahkan dua komandannya melakukan persiapan untuk menangkap sang pangeran. Akhir dari Perang Diponegoro Penangkapan Pangeran DiponegoroSumber Wikimedia Commons Beberapa hari kemudian, Gubernur Hindia Belanda itu menemui sang pangeran di kediamannya yang terletak di Magelang. Ia datang tepat di hari Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 28 Maret 1830. Pada mulanya, pertemuan berjalan biasa saja. Akan tetapi, suasana menjadi panas ketika tiba-tiba sang jenderal mengatakan akan menangkap Pangeran Diponegoro. Suasananya pun semakin memanas ketika keduanya terlibat adu mulut. Meskipun ada yang menengahi, tapi itu tidak terlalu berpengaruh banyak. Bahkan, terbersit di benak sang pangeran untuk menusuk De Kock menggunakan keris. Hal tersebut terjadi karena perlakuan dan perkataan jenderal yang tidak sopan dan sangat merendahkan. Beruntung, ia masih bisa menguasai diri dan mengurungkan niatnya. Tak lama setelah itu, laki-laki bangsawan tersebut keluar dari ruangan. Nah di pintu keluar tersebut, ia kemudian di tangkap. Penangkapan Pangeran Diponegoro ini kemudian yang menandai berakhirnya Perang Jawa yang melelahkan dan penuh sejarah. Usaha selama lima tahun mengorbankan jiwa raga untuk mengusir Belanda pun terhenti pada hari itu. Setelah ditangkap, ia lalu diasingkan di Ungaran. Selanjutnya pada tanggal 5 April, ia dikirim ke Batavia dan menjalani pengasingan di Gedung Museum Fatahillah. Tidak berhenti di situ, sang pangeran bersama kelurga dan beberapa pengikutnya lalu dibuang ke Manado pada tanggal 3 Mei 1830. Empat tahun kemudian, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar dan meninggal pada tanggal 8 Januari 1855. Baca juga Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja Penguasa Kerajaan Banten Kerugian yang Timbul Akibat Perlawanan Diponegoro Perlawanan Diponegoro ini merupakan perang terbesar dalam sejarah peperangan di Pulau jawa. Maka dari itu, kerugian yang ditimbulkan juga cukup banyak. Salah satunya yang tidak bisa disangkal adalah ratusan ribu orang menjadi korban dalam perang tersebut. Dari pihak Belanda saja sekitar orang dengan kerugian material sebanyak 25 juta gulden. Sementara itu, pribumi yang meninggal dunia kurang lebih sekitar orang. Bayangkan, betapa mengerikannya keadaan yang terjadi pada waktu itu. Bahkan, penduduk Yogyakarta saja hanya tinggal separuh dari jumlah populasi. Kerugian materi yang ditimbulkan juga tentunya tidak kalah besar jika dibandingkan dengan pihak Belanda. Selanjutnya, akibat yang satu ini paling dirasakan oleh keturunan Pangeran Diponegoro. Pasalnya, sang pangeran dianggap sebagai pemberontak sehingga keturunannya tidak bisa lagi masuk ke lingkungan keraton. Kejadian itu berlangsung selama beberapa puluh tahun. Hingga kemudian, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amnesti atau pengampunan untuk keturunan sang pangeran. Sehingga mereka kemudian diperbolehkan untuk ke keraton lagi. Baca juga Menilik Silsilah Kerajaan Ternate Ketika Sudah Bercorak Islam Itulah tadi ulasan lengkap tentang kronologi tentang sejarah Perang Diponegoro yang cukup panjang untuk dibaca. Semoga saja kamu tidak merasa bosan dan bisa menambah wawasanmu setelah membacanya. Di PosKata ini, kamu tidak hanya bisa membaca informasi mengenai penjajahan bangsa asing saja, lho. Kalau ingin membaca tentang sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara juga ada. Maka dari itu, baca terus, yuk! PenulisErrisha RestyErrisha Resty, lebih suka dipanggil pakai nama depan daripada nama tengah. Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lebih minat nulis daripada ngajar. Suka nonton drama Korea dan mendengarkan BTSpop 24/7.
Puncakkemarahan pangeran Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah a. Belanda ikut campur tangan dalam semua urusan politik di kerajaan Mataram b. Belanda membuat jalan tembus Yogyakarta-Magelang yang melewati makam leluhur pangeran Diponegoro c. Masuknya adat Barat kedalam lingkungan keraton d.Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah pemberontakan yang dilancarkan oleh masyarakat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan kekacauan terbesar yang terjadi pada kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Berlangsung selama lima tahun 1825-1830, perang ini membuat kas pemerintah menjadi kosong ditambah kehilangan ribuan serdadu Eropa. Perang ini menewaskan kurang lebih orang baik militer maupun sipil, menjadikannya pemberontakan paling berdarah dalam sejarah Hindia Belanda. Latar Belakang Perang Diponegoro Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1822 setelah wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IV dikuasai oleh Residen Yogyakarta Hendrik Smissaert yang mencampuri urusan kekuasaan keraton. Sementara itu Gubernur Jendral van der Capellen meminta seluruh tanah sewa dikembalikan kepada pemilik dengan kompensasi tertentu. Hal ini tidak disetujui Pangeran Diponegoro karena akan membawa keraton kepada kebangkrutan atas banyaknya tanah yang dikembalikan. Namun Smissaert berhasil meyakinkan Ratu Ageng dan Patih Danuredjo selaku wali raja untuk memuluskan kebijakan tersebut. Keraton terpaksa meminjam uang dari Kapitan Tionghoa untuk membayar kompensasi tersebut. Penyebab Terjadinya Perang Diponegoro Perang Diponegoro sendiri dapat dikatakan disebabkan oleh menguatnya pengaruh Belanda di dalam keraton. Banyak diantara punggawa keraton yang memihak Belanda karena mendapatkan keuntungan-keuntungan sendiri. Pangeran Diponegoro memutuskan hubungan dengan keraton pada Oktober 1824 dan pulang ke Tegalrejo. Ia membahas mengenai kemungkinan untuk melakukan pemberontakan pada Agustus tahun selanjutnya. Pangeran Diponegoro menghapus pajak bagi petani untuk memberikan ruang pembelian makanan dan senjata. Perang akhirnya pecah ketika Smissaert, pada Mei 1825 memperbaiki jalan Yogyakarta-Magelang melalui Tegalrejo. Patok-patok jalan ini melewati makam leluhur Diponegoro, sehingga menyebabkan kemarahannya. Ia memerintahkan mengganti patok tersebut dengan tombak sebagai pernyataan perang terhadap Belanda dan Keraton Yogyakarta. Kronologi Perang Keraton Yogyakarta berusaha untuk menangkap Diponegoro untuk mencegah terjadinya perang. Pihak keraton merasa bahwa Diponegoro semakin fanatic terhadap keagamaannya. Diponegoro dirasa terlalu tenggelam dan mengabaikan hubungannya dengan keraton. Di mana ia bertugas sebagai wali raja. Kediamannya di Tegalrejo dibakar namun pangeran dapat melarikan diri. Ia berpindah ke Kulonprogo, dan kemudian ke Bantul. Mendirikan basisnya di Gua Selarong, dan berhasil mengajak berbagai elemen masyarakat untuk bergabung dalam perang suci. 15 orang pangeran bergabung dengan Diponegoro, ia juga merekrut bandit professional untuk bergabung melawan Belanda. Perjuangan ini dibantu oleh Kyai Mojo selaku pemimpin spiritual perang, dan kemudian Sentot Alibasah sebagai panglima perang. Pertempuran terjadi secara terbuka bertempat di puluhan desa. Pangeran Diponegoro menyerbu pusat-pusat kekuatan Belanda ketika musim penghujan tiba. Sementara Belanda pada musim yang sama akan mengusahakan untuk melakukan gencatan senjata. Masing-masing pihak menggunakan mata-mata, kurir, dan penjelajah untuk melihat kelemahan dan peluang untuk menyerbu musuh. Jalur-jalur logistic dan pabrik mesiu dibangun di hutan-hutan Yogyakarta. Sementara Belanda rutin melakukan penghasutan dan provokasi di kalangan masyarakat maupun milisi Diponegoro. Perang berlangsung secara stagnan sampai dengan tahun 1828, ketika Belanda di bawah Jenderal de Kock menerapkan taktik Benteng Stelsel yang berfungsi untuk menjepit pasukan Jawa. Kyai Mojo berhasil ditangkap pada tahun yang sama. Menyusul tahun 1829, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasah menyerah kepada Belanda. Pada Maret 1830, Pangeran Diponegoro yang terjepit di Magelang kemudian menyerah kepada Belanda dengan catatan anggota-anggota laskarnya dilepaskan seluruhnya. Tokoh-Tokoh 1. Pangeran Diponegoro Pangeran Diponegoro memang tidak kehilangan jabatan di keraton. Malahan ia adalah wali raja bagi Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun bersama Ratu Ageng dan Patih Danuredjo. Namun kebijakan Belanda yang mencekik para petani serta membawa keraton dalam kebangkrutan, lebih dari mencampuri urusan dalam keraton. Hal ini membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak baik terhadap Belanda ataupun kalangan Keraton Yogyakarta yang berdiam diri. Ia memilih memutus hubungan dengan kerajaan dan mempersiapkan perang suci melawan penindas dan kaum kafir. Ia memobilisasi pangeran, petani, bandit, dan penduduk biasa untuk membantunya mengobarkan perang yang berlangsung selama lima tahun. Pangeran DiponegoroSumber gambar flickr 2. Kyai Mojo Kyai Mojo adalah sepupu Pangeran Diponegoro yang merupakan seorang ulama. Ia membantu perjuangan Diponegoro selaku pemimpin spiritual dan panglima perang. Hubungannya memang sangatlah erat dengan Diponegoro, namun kemudian berubah pada tahun 1828. Ketika Pangeran Diponegoro menggunakan sentimen Jawa tentang Ratu Adil yang dianggap penyelamat masyarakat dari penindasan. Hal ini dianggapnya sebagai penyimpangan dari kebenaran. Kyai Mojo berhasil disergap oleh pasukan Belanda di Sleman dan dibawa ke Salatiga. 3. Sentot Alibasah Prawirodirjo Sentot adalah keponakan dari Hamengkubuwono IV, yang memiliki dendam terhadap Belanda. Ayahnya, Ronggo Prawirodirjo tewas ketika masa pemerintahan Daendels sehingga ia mendukung ketika Diponegoro mengobarkan pemberontakan. Sentot berhasil diyakinkan untuk menyerah kepada Belanda pada tahun 1829. Ia kemudian dikirim untuk mengalahkan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri. Sentot berkhianat dan memasok senjata bagi pemberontak,sehingga ia ditangkap kembali dan diasingkan ke Bengkulu. 4. Jenderal de Kock Jenderal de Kock adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada tahun 1825-1826, bertugas untuk memadamkan api pemberontakan Diponegoro di Jawa. Ia menerapkan kebijakan Benteng Stelsel untuk mengepung pasukan-pasukan Diponegoro dan menangkap pemimpin perang masyarakat Jawa. Ia berganti jabatan menjadi Komandan KNIL sampai dengan tahun 1830, dan berperan besar atas penumpasan pemberontakan Diponegoro. Namanya digunakan atas salah satu benteng di Bukittinggi yang menjadi titik penumpasan pemberontakan Imam Bonjol di Minangkabau. 5. Hendrik Smissaert Hendrik Smissaert adalah Residen Yogyakarta yang ditunjuk oleh gubernur jenderal untuk menangani wilayah tersebut. Ia menjabat hampir bersamaan dengan wafatnya Hamengkubuwono IV yang seharusya digantikan oleh Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun. Smissaert menduduki tahta selama 31 bulan sebagai pemimpin keraton, hal ini dianggap sebagai penghinaan oleh masyarakat Jawa. Pemasangan patok-patok jalan yang melalui makam leluhur Diponegoro adalah kebijakan dari Smissaert. Kedudukannya sebagai penyebab meletusnya perang Jawa sangatlah besar. Akhir Perang Diponegoro Pangeran Diponegoro yang menyerah pada Maret 1830, ditangkap dan kemudian diasingkan ke Manado lalu dipindahkan ke Makassar. Pasukan-pasukannya yang tidak lagi memiliki pemimpin kehilangan semangat untuk berjuang. Berakhirnya Perang Jawa ini membawa pemimpin-pemimpin di tanah Jawa kehilangan harapan untuk melawan Belanda. Sejak tahun 1832, seluruh raja dan bupati di Jawa menyatakan ketundukannya kepada Belanda kecuali Bupati Ponorogo. Sehingga semakin kukuh kedudukan Belanda di Jawa. Meski begitu perang ini mampu menewaskan serdadu Eropa, yang membuat Belanda semakin kesulitan untuk memenangkan Perang Padri kedua di Minangkabau. Setelah perang berakhir, populasi Yogyakarta menyusut separuhnya. Sementara keturunan Pangeran Diponegoro diusir dari keraton. Artikel Perang Diponegoro Kontributor Noval Aditya, Alumni Sejarah FIB UI
Halini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa 74 di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah tapi yang terjadi kemudian sama dengan gerakan 74, gerakan tetap mudah dipatahkan. Setelah kemenangan tertunda dari gerakan mahasiswa 78, rezim Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.Puncak kemarahan Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah............. a. berlakunya pajak baru yang memberatkan rakyat b. masuknya adat barat ke dalam lingkungan keraton c. Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur pangeran Diponegoro d. Belanda ikut campur tangandalam semua urusan politik di kerajaan Mataram jadikan jawaban terbaik ya! membuat jalan yang melewati makam leluhur pangeran Diponegoro "jadikan jawaban terbaik ya!" membuat jalan yang melewati makam leluhur pangeran DiponegoroPerangDiponegoro (1825-1830) Latar Belakang dan sebab-sebab umum Perang Jawa sebenarnya disebabkan oleh ketidaksukaan para bangsawan kraton Yogyakarta terhadap campur tangan Belanda dalam negeri Yogyakarta yang kemudian meluas menjadi perlawanan rakyat. Mirip dengan Revolusi Amerika yang digerakkan oleh para tuan tanah dan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang kemudian Perang Jawa atau Perang Diponegoro terjadi di Jawa Tengah dari tahun 1825 – 1830, antara Kekaisaran Belanda kolonial dan pemberontak Jawa asli. Perang dimulai sebagai pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang anggota terkemuka aristokrasi Jawa yang sebelumnya bekerja sama dengan Belanda. Pasukan pemberontak mengepung Yogyakarta, sebuah langkah yang mencegah kemenangan cepat. Ini memberi Belanda waktu untuk memperkuat pasukan mereka dengan pasukan kolonial dan Eropa, memungkinkan mereka untuk mengakhiri pengepungan pada tahun 1825. Setelah kekalahan ini, para pemberontak terus berjuang dalam perang gerilya selama lima tahun. Perang berakhir dengan kemenangan Belanda, dan Pangeran Diponegoro diundang ke konferensi perdamaian. Dia dikhianati dan ditangkap. Karena biaya perang, otoritas kolonial Belanda melaksanakan reformasi besar di seluruh Hindia Belanda untuk memastikan koloni tetap menguntungkan. Penyebab langsung Perang Jawa adalah keputusan Belanda untuk membangun jalan melintasi sebidang tanah Diponegoro yang berisi makam orangtuanya. Keluhan lama merefleksikan ketegangan antara aristokrasi Jawa dan Belanda yang semakin kuat. Keluarga-keluarga bangsawan Jawa jengkel dengan hukum Belanda yang membatasi keuntungan sewa mereka. Belanda, sementara itu, tidak mau kehilangan pengaruh atas pengadilan Yogyakartan. Pengaruh Belanda juga mempengaruhi dinamika budaya Jawa. Seorang Muslim yang taat, Diponegoro terkejut dengan ketaatan beragama yang semakin santai di pengadilan. Ini termasuk meningkatnya pengaruh penjajah Belanda Kristen dan kecenderungan pengadilan pro-Belanda. Di antara pengikut Diponegoro, perang itu digambarkan sebagai jihad “baik melawan Belanda dan murtad atau orang Jawa yang murtad. Mengikuti strategi kolonial bersama, Belanda bekerja untuk memperburuk krisis suksesi bagi takhta Yogya. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, tetapi haknya untuk berhasil diperdebatkan karena ibunya bukan ratu. Saingan Diponegoro adalah adik tirinya Hamengkubuwono IV dan keponakannya yang masih bayi Hamengkubuwono V, yang didukung oleh Belanda. Pertempuran Perang Jawa dimulai 21 Juli 1825 ketika Pangeran Diponegoro menaikkan standar pemberontakan di tanah miliknya di Selarong. [2] Pasukan pemberontak berhasil pada tahap awal perang, menguasai Jawa Tengah dan mengepung Yogyakarta. Penduduk Jawa umumnya mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, karena kaum tani Jawa terkena dampak buruk dari penerapan sistem penanaman yang eksploitatif. Sistem tersebut menuntut desa untuk menanam tanaman ekspor yang dijual kepada pemerintah dengan harga tetap. Otoritas kolonial Belanda pada awalnya ragu-ragu. Namun, ketika perang berlanjut, Pangeran Diponegoro kesulitan mempertahankan pasukannya. Sebaliknya, tentara kolonial Belanda mampu mengisi barisannya dengan pasukan pribumi dari Sulawesi, dan akhirnya menerima bala bantuanpasukan Eropa dari Belanda. Komandan Belanda Jenderal de Kock mengakhiri pengepungan pemberontak di Yogyakarta pada 25 September 1825. Pangeran Diponegoro kemudian memulai perang gerilya yang luas. Sampai 1827, tentara Belanda berjuang untuk melindungi daerah pedalaman Jawa, sehingga mereka memperkuat pertahanan teritorial mereka dengan mengerahkan detasemen bergerak pasukan kolonial, yang berbasis di benteng kecil di seluruh Jawa Tengah. Diperkirakan orang tewas selama konflik, termasuk orang Belanda. Pemberontakan berakhir pada tahun 1830, setelah Pangeran Diponegoro ditipu untuk memasuki wilayah yang dikuasai Belanda di dekat Magelang, dengan dalih negosiasi untuk kemungkinan gencatan senjata. Ia ditangkap dan diasingkan ke Manado, dan kemudian ke Makassar, di mana ia meninggal pada tahun 1855. Akibat Karena kerugian besar pasukan Belanda, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendaftarkan rekrutan Afrika di Gold Coast apa yang disebut “Belanda Hitam” “Orang Belanda Hitam”, untuk menambah pasukan India Timur dan Eropa. Perang itu merusak keuangan Belanda; dengan demikian, pengamanan Jawa memungkinkan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengimplementasikan Cultuurstelsel “Sistem Tanam Paksa” di Jawa tanpa oposisi lokal pada tahun 1830. Di bawah pengawasan gubernur jenderal yang baru, Johannes van den Bosch, sistem budidaya ini memerlukan bahwa 20% dari tanah desa dikhususkan untuk menanam tanaman komersial untuk ekspor pada tingkat pemerintah. Atau, petani harus bekerja di perkebunan milik pemerintah selama 60 hari dalam setahun. Penjajah Belanda dan sekutu asli mereka mengumpulkan kekayaan besar melalui sistem ekspor paksa ini. Keuntungan dari koloni lebih dari membayar Belanda untuk perang, dan membuat Hindia Belanda mandiri. Sumber Referensi J. Kathirithamby-Wells 1998. “Yang Lama dan yang Baru”. Di Mackerras, Colin ed.. Kebudayaan dan Masyarakat di Asia-Pasifik. Rutekan. hal. Peter 1976. “The Origin of the Java War 1825-30”. Ulasan Sejarah Inggris. 91 358 74 – via Ricklefs Sejarah Indonesia modern sejak 1300, hlm. Alice Volkman Sulawesi persimpangan jalan di Indonesia, Passport Books, 1990, ISBN 0844299065, halaman 73. wVGbEPZ.