Di Kuil Penyiksaan Orde Baru Senin, 4 Februari 2008 Ada perintah pada masa Orde Baru, untuk menculik sejumlah aktivis mahasiswa. Empat orang dari mereka yang diculik belum kembali sampai hari ini. Wartawan Tempo Nezar Patria, pada 1997 adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang menjadi satu dari korban penculikan yang selamat. Berikut adalah pengalamannya . tempo 168676532061_ PERerakan antikediktatoran. Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedan... Berlangganan untuk lanjutkan membaca. Kami mengemas berita, dengan cerita. Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini PILIHAN TERBAIK Rp Aktif langsung 12 bulan, Rp *Anda hemat -Rp *Dijamin update hingga 52 edisi Majalah Tempo Rp Aktif setiap bulan, batalkan kapan saja *GRATIS untuk bulan pertama jika menggunakan Kartu Kredit Lihat Paket Lainnya Sudah berlangganan? Masuk DisiniDaftar TempoID untuk mendapatkan berita harian via email. Newsletter Dapatkan Ringkasan berita eksklusif dan mendalam Tempo di inbox email Anda setiap hari dengan Ikuti Newsletter gratis. Konten Eksklusif Lainnya 11 Juni 2023 4 Juni 2023 28 Mei 2023 21 Mei 2023 Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.
Btw Nezar pernah bekerja di Tempo, dimana ia bekerja bersama Leila, dan diminta menceritakan kisah penculikannya nyaris tanpa sensor yang dimuat dengan judul "Di Kuil Penyiksaan Orde Baru". Jujur saja, keputusan Nezar untuk
Le colonel malien Assimi Goïta a créé un fait accompli aux suites imprévisibles en remettant la main sur les commandes du pouvoir après avoir démis abruptement ceux qui incarnaient l'engagement à un retour des civils aux le deuxième coup de force en neuf mois après le putsch mené par un groupe de colonels le 18 août 2020 et qui a fait d'Assimi Goïta l'homme fort du Que s'est-il passé ?Lundi est annoncé un nouveau gouvernement formé par le président et le Premier ministre de transition, Bah Ndaw et Moctar Ouane. La nomination d'un président et d'un Premier ministre civils bien que Bah Ndaw soit un officier à la retraite avait été imposée aux colonels par la communauté internationale, ainsi qu'une transition de 18 mois pour rendre le pouvoir aux deux heures après l'annonce du remaniement, les militaires arrêtent le président et le Premier ministre ainsi que plusieurs hauts dignitaires. Mardi, le colonel Goïta annonce qu'ils sont démis. Mercredi, les militaires annoncent qu'ils ont démissionné, sans qu'on sache si c'est de plein gré. Ils sont libérés dans la nuit de mercredi à circule le décret du colonel Goïta abrogeant la nomination des membres du cabinet de Bah Pourquoi ce coup de force ?Les militaires parlent de "différends profonds" et de "blocages" imputés à l'ex-président. Ils l'accusent de s'être ingéré personnellement dans la préparation des élections prévues début 2022, et d'avoir bloqué l'arrestation de responsables suspects de "mauvaise gestion financière". Ils n'étayent ces incriminations d'aucune paraissent admettre que MM. Ndaw et Ouane ont suscité leur ire en écartant du gouvernement deux d'entre eux, acteurs du putsch de 2020 nommés ensuite ministres de la Défense et de la Qui dirige le Mali ?Les militaires ont promis la nomination d'un nouveau président et d'un nouveau gouvernement. En attendant, Assimi Goïta "assure l'intérim de la présidence de transition", a dit son cabinet militaires ont reçu depuis lundi plusieurs acteurs de la vie politico-sociale, dont le Mouvement du 5-Juin, le collectif qui avait mené en 2020 la contestation contre le président Ibrahim Boubacar Keïta, achevée par le putsch d' M5-RFP pour Rassemblement des forces patriotiques avait pourtant été marginalisé par les colonels dans la transition. S'estimant lésés, plusieurs membres, des barons de la politique depuis l'avènement de la démocratie en 1991, s'étaient placés dans l' milieu des rumeurs, le nom de Choguel Kokalla Maïga, une des têtes pensantes du M5-RFP, plusieurs fois ministre depuis 2002, revient avec insistance pour le poste de Premier Comment les Maliens réagissent-ils ?En nommant quelqu'un du M5-RFP, les colonels s'assureraient leur soutien pour les neufs mois de transition restants, estime le chercheur Boubacar appels à protester contre le coup de force n'ont trouvé quasiment aucun écho. La classe politique est éclatée depuis la chute de l'ex-président Keïta et la mort du principal opposant Soumaïla Cissé fin décembre. De nombreuses formations ont adopté une position Bamako, la lassitude a gagné beaucoup d'habitants."Deux coups d'État en neuf mois et un implacable couperet rien n'a changé", résumait jeudi le Journal du Mali, hebdomadaire de Quelles conséquences ?Une mission de la Cédéao Communauté des Etats ouest-africains, la même qu'en août a été dépêchée à Bamako pour tenter une médiation. Elle est repartie sans dire un les principaux partenaires du Mali qui, à l'inverse d'août, ont réagi rapidement en condamnant le coup de force, elle réclame le retour à une transition conduite par des a annoncé mettre fin à son aide Cédéao, qui devrait réunir un sommet extraordinaire dans les prochains jours, l'Union européenne, la France et les Etats-Unis engagés au Sahel, menacent de sanctions. Ces partenaires s'inquiètent d'un surcroît d'instabilité dans un pays exsangue où la capacité de l'Etat à faire face à ses multiples défis est plus que jamais en doute et où l'emprise des groupes jihadistes va ne cessent de demander un engagement politique clair des capitales sahéliennes, rarement traduit dans les nommant un Premier ministre au sein du M5-RFP, les militaires pourraient trouver une "alliance avec des forces politiques maliennes pour convaincre les acteurs internationaux de les laisser poursuivre la transition", estimait jeudi le groupe de réflexion International Crisis Group ICG.28/05/2021 092617 - Bamako AFP - © 2021 AFP
Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. “Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka. Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, “Merpati, merpati.” Agaknya itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka. Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur. Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. “Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang. Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!” saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap. ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga. Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia “dijemput” sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto. Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh dan Papua segala. Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya. “Sudah siap mati?” bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam. “Sana, berdoa!” Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan. Tapi “eksekusi” itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja. Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa matahari dan senam pagi. Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan kemudian, Andi Arief kini Komisaris PT Pos Indonesia diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat “X”, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya. Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka adalah Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul. Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah dibebaskan. Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? “Ada tiga Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto? Doa saya untuk kawan-kawan yang belum atau tidak kembali. [Nezar Patria TEMPO] Post Views 4,817Insidenpenangkapan penyidik Polri di KPK, Kompol Novel Baswedan, di kantor KPK pada Jumat (5/10) lalu oleh Polda Bengkulu memanaskan hubungan KPK-Polri. Pidato SBY yang memberikan solusi penyelesaian masalah tersebut menuai pujian. Permasalahan KPK-Polri sebenarnya mulai memanas jauh hari saat KPK mulai pengusutan kasus Korlantas Polri. pct7M1.